Pada akhir tahun 70-an dunia diguncangkan oleh sebuah revolusi yang digerakkan oleh seorang ulama. Republik Iran yang begitu kuat di bawah kepemimpinan Syah akhirnya harus tumbang melalui perjuangan panjang ulama tersebut. Ulama itu, tak lain adalah Imam Khomeini, seorang sufi, teolog, faqih, filosof dan sekaligus politikus. Seorang pribadi besar, yang kokoh dalam pendirian dan keteguhan perjuangan menegakkan amar ma`ruf nahi munkar tanpa mengenal putus asa.
Imam Khomeini [ra] lahir di Khomein pada 24 Oktober 1902. Khomein, merupakan dusun yang berada di Iran tengah. Keluarga Khomeini adalah keluarga Sayid Musawi, keturunan Nabi [sawa] melalui jalur Imam ke-7 (tujuh) Syi`ah, Imam Musa al-Kazhim [as]. Mereka berasal dari Neisyabur, Iran timur laut. Pada awal abad ke-18, keluarga ini bermigrasi ke India, dan mukim di kota kecil Kintur di dekat Lucknow di kerajaan Qudh, yang penguasanya adalah pengikut Syi`ah Dua Belas Imam. Kakek Imam Khomeini [ra] yang bernama Sayid Ahmad Musawi Hindi, lahir di Kintur. Keluarga kakeknya adalah keluarga ulama terkemuka, Mir Hamed Husein Hindi Neisyaburi, yang karyanya, Abaqat al-Anwar, jadi kebanggan Syi`ah India.
Sayid Ahmad ini meninggalkan India pada sekitar tahun 1830 untuk pergi ziarah ke kota suci Najaf. Di Najaf dia bertemu seorang saudagar terkemuka Khomein. Menerima undangan sang saudagar, Sayid Ahmad lalu pergi ke Khomein untuk jadi pembimbing spiritual dusun itu. Di Khomein, Sayid Ahmad menikah dengan Sakinah, putri tuan rumahnya. Pasangan ini dikaruniai empat anak, antara lain Sayid Mustafa, yang lahir pada 1856. Sayid Mustafa belajar di Najaf, di bawah bimbingan Mirza Hasan Syirazi, kemudian pada 1894 kembali ke Khomein. Di sana dia menjadi ulama dan dikaruniai enam anak. Imam Khomeini [ra] adalah yang bungsu dan satu-satunya yang panggilannya adalah Khomeini.
Semasa kecil, Imam Khomeini [ra] mulai belajar bahasa Arab, syair Persia dan kaligrafi di sekolah negeri dan di ‘maktab’. Menjelang dewasa, Imam Khomeini [ra] mulai belajar agama dengan lebih serius. Ketika berusia lima belas tahun, dia mulai belajar tata bahasa Arab kepada saudaranya, Murtaza, yang belajar bahasa Arab dan teologi di Isfahan. Pada usia tujuh belas tahun Imam Khomeini [ra] pergi ke Arak, kota dekat Isfahan untuk belajar dari Syaikh Abdul Karim Ha`eri Yazdi, seorang ulama yang terkemuka yang meninggalkan Karbala untuk menghindari pergolakan politik. Sikap ini kemudian mendorong kebanyakan ulama terkemuka untuk menyatakan penentangannya kepada pemerintahan Inggris.
Setelah runtuhnya imperium Utsmaniah, Syaikh Ha`eri enggan tinggal di kota-kota yang ada di bawah mandat Inggris. Ia kemudian pindah ke Qum. Imam Khomeini [ra] lima bulan kemudian mengikuti jejak Syaikh Ha`eri pindah ke Qum. Di tempat yang baru ini Imam Khomeini [ra] belajar retorika syair dan tata bahasa dari gurunya yang bernama Syaikh Muhammad Reza Masjed Syahi.
Selama belajar di Qum, Imam Khomeini [ra] menyelesaikan studi fiqh dan ushul dengan seorang guru dari Kasyan, yang sebelas tahun lebih tua darinya, yaitu Ayatullah Ali Yasrebi.
Pada awal tahun 1930-an, dia menjadi mujtahid dan menerima ijazah untuk menyampaikan hadis dari empat guru terkemuka. Yang pertama dari ke-4 guru itu adalah Syaikh Muhsin Amin `Ameli, seorang ulama terkemuka dari Libanon, dimana Imam Musa Shadr di kemudian hari menggantikan kedudukan Amin sebagai pemimpin Syi`ah Lebanon.
Yang kedua adalah Syaikh Abbas Qumi, ahli hadis terkemuka dan sejarawan Syi`ah. Qumi adalah penulis prolifik yang tulisannya sangat digemari di Iran modern, terutama bukunya yang berjudul Mafatih al-Jinan (Kunci Surga).
Guru ketiganya adalah Abul Qasim Dehkordi Isfahani, seorang mullah terkemuka di Isfahan.
Guru keempatnya adalah Muhammad Reza Masjed Syahi, yang datang ke Qum pada 1925 karena protes menentang kebijakan anti Islam Reza Syah.
Pada usia dua puluh tujuh tahun, Imam Khomeini [ra] menikah dengan Syarifah Batul, putri dari seorang ayatullah yang bermukim di Teheran. Mereka dikarunia lima orang anak, dua putera dan tiga puteri.
Imam Khomeini [ra] wafat pada tanggal 3 Juni 1989 dengan memberikan sesuatu keyakinan kepada kaum Muslimin diseluruh dunia bahwa ajaran Islam merupakan ajaran yang mampu menuntun manusia pada kebenaran. Memang peranan dan kharismanya dalam Islam modern dan sejarah Iran tak dapat disangkal. Semoga harapan dan cita-citanya dapat menjadi kenyataan dalam sejarah umat Islam di dunia.
Sekapur Sirih
Terima kasih telah berkunjung di blog yang sederhana ini. Jangan sungkan! Semoga blog ini bermanfaat bagi anda.
Brotherhood
- Abatasya Islamic
- Ahlulbayt
- Analisis Pencari Kebenaran
- Balagh
- Bentara Budaya Hujjatiyah
- Forum Kebebasan Berpendapat
- Himpunan Pemuda Sinar Syahid
- Indonesian Radio
- Info Palestina
- Islam Alternatif
- Islam Feminis
- Islam Muhammadi
- Islam Syiah
- Islamic Cultural Center
- Mawaddah fi al-Qurba
- Menjawab Tuduhan Salafi-Wahhabi
- Muta`allim ala Sabili al-Najat
- Pecinta Ahlulbait
- Quran al-Shia
- SCI of Dar al-Hadith
- Shia News
- The Other Side of Me
- The Shia
- The Supreme Leader
- Yayasan Fatimah
Blog Archive
-
▼
2009
(22)
-
▼
October
(22)
- Nabi [sawa] Bermuka Manis dan Tidak Bermuka Masam
- Referendum Historis di Iran
- Dialog Imam Ali ibn Abi Thalib [as] dengan Khalifa...
- Kecintaan Dunia Islam terhadap Iran Terus Berkobar
- Sayid Hasan Nasrullah: Siapa Mengenal Ayatullah Kh...
- Surat Terbuka Ismail Haniyah kepada Barat
- Pesan Ismail Haniyah kepada Sayid Ali Khamenei
- Hak-Hak Wanita dalam Perspektif Imam Khomeini [ra]
- PBB: Bangsa Arab Harus Meneladani Imam Ali ibn Abi...
- Ayatullah Ruhullah Imam Khomeini [ra]
- Ammar bin Yasir [ra] dan Taqiyah
- Konspirasi Anti Syiah dan Upaya Adu Domba CIA
- Rahbar Pimpin Shalat Jum`at di Teheran
- The Twelve Imams
- Syiah adalah Syiah
- Pujian u/ Imam Ali [as]
- Shirat al-Mustaqim
- Fathimah [as] dan Al-Kautsar
- Surat Terbuka Ayatullah Makarim Syirazi kepada Ula...
- Arogansi Dunia Gagal Sebarkan Iranphobia
- Imam Ali [as] dan Kemenangan di Waktu Subuh
- Amma Ba`du
-
▼
October
(22)
Posted:
Prince Dipanegara
October 21, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)